Berita Flash Nasional

Quo Vadis PAPUA: Air Mata Kita by Muhammad Nur Lapong.

Jakarta, Rabu (07-08-2019) – Pers News,????

Direktur LBH ForJIS, Muhammad Nur Lapong.

Sejarah mencatat, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah itu bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB.

PBB kemudian merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan “New York Agreement” untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu.

Hasil nya menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.

Seiring waktu, benih benih ketidak puasan rakyat Papua kepada pemerintah pusat Indonesia mulai menjadi domain sebagian rakyat Papua (sebelum reformasi bernama Irian Barat), yang merasa tidak mendapat keadilan dan kemanusiaan yang beradab dari pemerintah Indonesia.

Kekayaan bumi Papua berbanding terbalik dengan kondisi umumnya rakyat Papua yang miskin dan terkebelakang misalnya, dibanding dengan penduduk Indonesia di wilayah lain atau penduduk pendatang yang menghuni Papua. Inilah setidaknya yang sering menjadi barometer ukuran meningkatnya sentimen sosial rakyat Papua yang dapat di lihat mata yang kemudian menjadi pemicu meningkatnya gerakan perlawanan Organisasi Rakyat Papua (OPM).

Belum lagi masalah hasil tambang Freeport yang menggiurkan itu ikut menambah volume masalah tentunya, apalagi masalah masalah yang berkembang saat ini ikut diboncengi kepentingan asing atas bumi Papua yang begitu kaya.

Setelah berdirinya OPM 1965 hingga saat ini, komplik bersenjata antara OPM (oleh pemerintah di sebut KKB, Kelompok Kriminal Bersenjata) dengan aparat TNI/Polri, telah menelan korban ribuan nyawa, baik dari sipil maupun aparat TNI/Polri dan OPM. Bukan malah menurun namun kompliknya makin intens.

Terakhir adalah peristiwa yang terjadi di Kabupaten Nduga. Komplik ini tercatat sebagai kontak senjata yang terlama antara aparat dan OPM/KKB yang sudah memakan waktu kurang lebih setahun.

Korban yang jatuh senantiasa bertambah dari kedua belah pihak dan rakyat sipil. Menurut pemerintah melalui Kementerian Sosial korban yang tewas di perkirakan 53 orang yang meninggal selama komplik, tetapi aktivis Papua mengatakan jumlah korban tewas jauh lebih besar.

Tim Solidaritas Peduli Konflik Nduga membantah angka itu. Theo Hesegem dari tim ini mengatakan kepada VOA, jumlah korban tewas lebih dari tiga kali jumlah yang dilaporkan, mencapai 182 orang melalui investigasi langsung ke warga masyarakat yang menjadi korban komplik, hal ini mengingat medan yang sulit di tengah hutan dan pegunungan beserta cuaca dingin yang rentan bagi perempuan ibu hamil, anak anak/bayi dan orang tua berumur.

Tim investigasi juga mencatat, puluhan ribu warga masih mengungsi sampai hari ini. Di distrik Mapenduma ada 4.276 pengungsi, distrik Mugi 4.369 orang, Distrik Jigi sebanyak 5.056 orang, Distrik Yal 5.021 orang dan di Distrik Mbulmu Yalma ada 3.775 orang. Selain itu, pengungsi juga ada di Distrik Kagayem 4.238 orang, Distrik Nirkuri 2.982 orang, Distrik Inikgal 4.001 orang, Distrik Mbua 2.021 orang, dan Distrik Dal 1.704 orang, jadi kira kira kurang lebih 45 ribu masih berada dalam status pengunsian.

Dapat dibayangkan Gambaran penderitaan masyarakat Papua atas satu daerah komplik saja akibat kontak langsung bersenjata di Papua.

Menurut Natalius Pigai mantan anggota KOMNAS HAM RI. Penderitaan masyarakat Papua sudah berlangsung kurang lebih 50 tahun, baik yang dilakukan aparat maupun oleh korporasi. Masyarakat papua mengalami kekejaman phisik, maupun perlakuan diskriminatif dan penghinaan rasial yang berlangsung tidak saja di wilayah papua sendiri, terlebih diluar daerah papua yang terkonsentrasi di pulau jawa.

Mental rasialis _papua phobia_ yang dialami masyarakat papua dari masyarakat diluar suku papua telah keluar dari design atau konsep besar negara kebangsaan yang Pancasilais.

Apa yang dikuatirkan dari sikap mentalitas papua phobia menurut Natalis Pigai telah memasuki Red Line. Peristiwa penghinaan dan persekusi yang dilakukan sebuah ormas di Jl. Kalasan Surabaya, maupun di Malang atas Mahasiswa Papua, hanya merupakan akumulasi dari puncak gunung es yang kemudian memicu terjadinya kerusuhan di seluruh pulau Papua dari Fak Fak sampai Merauke.

Menurut Natalius Pigai,
Tindàkan rasialisme itu tindakan yang menyerang dan merendahkan martàbat setiap individu. Karena itu ketika orang Papua dikatakan Monýet dan Gorila, tentu memancing reaksi indìvidu yang ras, warna kulit dan etño biologis yang sama sebagai bangsa Papua melanesia. Karena itulah tindakan perlawanan atau anti rasial muncul secara spontanitas oleh setiap individu di Papua.

PAPUA KITA marah, PAPUA KITA terbakar, KITA pun marah, KITA pun terbakar atas perlakuan _super tidak pantas_ terhadap PAPUA KITA.

Sekian lama KITA hanya menuntut tanpa rasa malu bahkan kita semua menjadi _balhum adhol_ (lebih rendah dari binatang) melecehkan ke KITA-an KITA sebagai satu bangsa yang beradab, sebagai suatu bangsa yang ber TUHAN YME.

KITA sudah lama tidak sadar melecehkan diri kita sendiri sebagai manusia ciptaan TUHAN yang paling Mulia. KITA sudah lama membuat TUHAN murka!

Mari sejak hari ini kita mencanangkan bukan lagi PAPUA AIR MATA KAMI – KITA, tapi PAPUA SUKA CITA KITA SEMUA. PAPUA adalah KITA!

Kita mulai ke INDONESIAN KITA dari Hamba Hamba Tuhan di PAPUA.

Sang FAJAR terbitlah lah dari PAPUA!’

PAPUA adalah raksasa tidur Indonesia yang harus bangkit bersama, satu untuk semua, semua untuk satu, Indonesia Raya.(admin/Penulis : Direktur LBH ForJIS, Muhammad Nur Lapong).

1
persnews
Aktual, Tajam, Terpercaya;
http://www.persnews.id